Sejarah Manusia Purba
A. Zaman Paleolitikum
Zaman Palaeolitikum artinya zaman batu tua. Zaman ini ditandai
dengan penggunaan perkakas yang bentuknya sangat sederhana
dan primitif. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman ini, yaitu
hidup berkelompok; tinggal di sekitar aliran sungai, gua, atau di
atas pohon; dan mengandalkan makanan dari alam dengan cara
mengumpulkan (food gathering) serta berburu. Maka dari itu, manusia
purba selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
yang lain (nomaden).
B.ZAMAN MEZOLITIKUM
Zaman Mezolitikum artinya zaman batu madya (mezo) atau pertengahan.
Zaman ini disebut pula zaman ”mengumpulkan makanan
(food gathering) tingkat lanjut”, yang dimulai pada akhir zaman
es, sekitar 10.000 tahun yang lampau. Para ahli memperkirakan
manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa Melanesoide
yang merupakan nenek moyang orang Papua, Semang, Aeta,
Sakai, dan Aborigin. Sama dengan zaman Palaeolitikum, manusia
zaman Mezolitikum mendapatkan makanan dengan cara berburu
dan menangkap ikan. Mereka tinggal di gua-gua di bawah bukit
karang (abris souche roche), tepi pantai, dan ceruk pegunungan.
Gua abris souche roche menyerupai ceruk untuk dapat melindungi
diri dari panas dan hujan.
Hasil peninggalan budaya manusia pada masa itu adalah
berupa alat-alat kesenian yang ditemukan di gua-gua dan coretan
(atau lukisan) pada dinding gua, seperti di gua Leang-leang, Sulawesi
Selatan, yang ditemukan oleh Ny. Heeren Palm pada 1950.
Van Stein Callenfels menemukan alat-alat tajam berupa mata
panah, flakes, serta batu penggiling di Gua Lawa dekat Sampung,
Ponorogo, dan Madiun.
Selain itu, hasil peninggalannya ditemukan di tempat sampah
berupa dapur kulit kerang dan siput setinggi 7 meter di sepanjang
pantai timur Sumatera yang disebut kjokkenmoddinger. Peralatan
yang ditemukan di tempat itu adalah kapak genggam Sumatera,
pabble culture, dan alat berburu dari tulang hewan.
C. Zaman Neolitikum
Zaman Neolitikum artinya zaman batu muda. Di Indonesia,
zaman Neolitikum dimulai sekitar 1.500 SM. Cara hidup untuk
memenuhi kebutuhannya telah mengalami perubahan pesat,
dari cara food gathering menjadi food producting, yaitu dengan cara
bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada masa itu manusia
sudah mulai menetap di rumah panggung untuk menghindari
bahaya binatang buas.
Manusia pada masa Neolitikum ini pun telah mulai membuat
lumbung-lumbung guna menyimpan persediaan padi dan gabah.
Tradisi menyimpan padi di lumbung ini masih bisa dilihat di
Lebak, Banten. Masyarakat Baduy di sana begitu menghargai
padi yang dianggap pemberian Nyai Sri Pohaci. Mereka tak perlu
membeli beras dari pihak luar karena menjualbelikan padi dilarang
secara hukum adat. Mereka rupanya telah mempraktikkan
swasembada pangan sejak zaman nenek moyang.
Pada zaman ini, manusia purba Indonesia telah mengenal dua
jenis peralatan, yakni beliung persegi dan kapak lonjong. Beliung
persegi menyebar di Indonesia bagian Barat, diperkirakan budaya
ini disebarkan dari Yunan di Cina Selatan yang berimigrasi ke
Laos dan selanjutnya ke Kepulauan Indonesia. Kapak lonjong
tersebar di Indonesia bagian timur yang didatangkan dari Jepang,
kemudian menyebar ke Taiwan, Filipina, Sulawesi Utara, Maluku,
Irian dan kepulauan Melanesia. Contoh dari kapak persegi adalah
yang ditemukan di Bengkulu, terbuat dari batu kalsedon; berukuran
11,7×3,9 cm, dan digunakan sebagai benda pelengkap upacara
atau bekal kubur. Sedangkan kapak lonjong yang ditemukan di
Klungkung, Bali, terbuat dari batu agats; berukuran 5,5×2,5 cm;
dan digunakan dalam upacara-upacara terhadap roh leluhur.
Selain itu ditemukan pula sebuah kendi yang dibuat dari tanah
liat; berukuran 29,5×19,5 cm; berasal dari Sumba, Nusa Tenggara
Timur. Kendi ini digunakan sebagai bekal kubur.
D. Zaman Megalitikum
Zaman Megalitikum artinya zaman batu besar. Pada zaman ini
manusia sudah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme.
Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh nenek moyang
(leluhur) yang mendiami benda-benda, seperti pohon, batu, sungai,
gunung, senjata tajam. Sedangkan dinamisme adalah bentuk
kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan atau tenaga
gaib yang dapat memengaruhi terhadap keberhasilan atau kegagalan
dalam kehidupan manusia. Dari hasil peninggalannya, diperkirakan
manusia pada Zaman Megalitikum ini sudah mengenal
bentuk kepercayaan rohaniah, yaitu dengan cara memperlakukan
orang yang meninggal dengan diperlakukan secara baik sebagai
bentuk penghormatan.
Adanya kepercayaan manusia purba terhadap kekuatan alam
dan makhluk halus dapat dilihat dari penemuan bangunan-bangunan
kepercayaan primitif. Peninggalan yang bersifat rohaniah
pada era Megalitikum ini ditemukan di Nias, Sumba, Flores, Sumatera
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan, dalam bentuk
menhir, dolmen, sarkofagus, kuburan batu, punden berundakundak,
serta arca. Menhir adalah tugu batu sebagai tempat pemujaan;
dolmen adalah meja batu untuk menaruh sesaji; sarkopagus
adalah bangunan berbentuk lesung yang menyerupai peti mati;
kuburan batu adalah lempeng batu yang disusun untuk mengubur
mayat; punden berundak adalah bangunan bertingkat-tingkat
sebagai tempat pemujaan; sedangkan arca adalah perwujudan dari
subjek pemujaan yang menyerupai manusia atau hewan.
E. Zaman Perunggu
Manusia purba Indonesia hanya mengalami Zaman Perunggu
tanpa melalui zaman tembaga. Kebudayaan Zaman Perunggu
merupakan hasil asimilasi dari antara masyarakat asli Indonesia
(Proto Melayu) dengan bangsa Mongoloid yang membentuk ras
Deutero Melayu (Melayu Muda). Disebut zaman perunggu karena
pada masa ini manusianya telah memiliki kepandaian dalam melebur
perunggu. Di kawasan Asia Tenggara, penggunaan logam
dimulai sekitar tahun 3000-2000 SM. Masa penggunaan logam,
perunggu, maupun besi dalam kehidupan manusia purba di Indonesia
disebut masa Perundagian. Alat-alat besi yang banyak
ditemukan di Indonesia berupa alat-alat keperluan sehari-hari,
seperti pisau, sabit, mata kapak, pedang, dan mata tombak.
Pembuatan alat-alat besi memerlukan teknik dan keterampilan
khusus yang hanya mungkin dimiliki oleh sebagian anggota
masyarakat, yakni golongan undagi. Di luar Indonesia, berdasarkan
bukti-bukti arkeologis, sebelum manusia menggunakan logam
besi mereka telah mengenal logam tembaga dan perunggu terlebih
dahulu. Mengolah bijih menjadi logam lebih mudah untuk
tembaga daripada besi.